TUGAS SOFT SKILL
SAMPAHBanyak akhir” ini kita melihat banyak sekali sampah yang berserakan di sekeliling lingkungan kita. tanpa kita sadari bahwa semakin lama maka semakin banyak sampah itu berserakan.
Sampah merupakan konsekuensi dari adanya aktifitas manusia. Setiap aktifitas manusia pasti menghasilkan buangan atau sampah. Jumlah atau volume sampah sebanding dengan tingkat konsumsi kita terhadap barang/material yang kita gunakan sehari-hari. Demikian juga dengan jenis sampah, sangat tergantung dari jenis material yang kita konsumsi. Oleh karena itu pegelolaan sampah tidak bisa lepas juga dari ‘pengelolaan’ gaya hidup masyrakat.
Peningkatan jumlah penduduk dan gaya hidup sangat berpengaruh pada volume sampah. Misalnya saja, kota Jakarta pada tahun 1985 menghasilkan sampah sejumlah 18.500 m3 per hari dan pada tahun 2000 meningkat menjadi 25.700 m3 per hari. Jika dihitung dalam setahun, maka volume sampah tahun 2000 mencapai 170 kali besar Candi Borobudur (volume Candi Borobudur = 55.000 m3). [Bapedalda, 2000]. Selain Jakarta, jumlah sampah yang cukup besar terjadi di Medan dan Bandung. Kota metropolitan lebih banyak menghasilkan sampah dibandingkan dengan kota sedang atau kecil.
Jenis Sampah
Secara umum, jenis sampah dapat dibagi 2 yaitu sampah organik (biasa disebut sebagai sampah basah) dan sampah anorganik (sampah kering). Sapah basah adalah sampah yang berasal dari makhluk hidup, seperti daun-daunan, sampah dapur, dll. Sampah jenis ini dapat terdegradasi (membusuk/hancur) secara alami. Sebaliknya dengan sampah kering, seperti kertas, plastik, kaleng, dll. Sampah jenis ini tidak dapat terdegradasi secara alami.
Pada umumnya, sebagian besar sampah yang dihasilkan di Indonesia merupakan sampah basah, yaitu mencakup 60-70% dari total volume sampah. Oleh karena itu pengelolaan sampah yang terdesentralisisasi sangat membantu dalam meminimasi sampah yang harus dibuang ke tempat pembuangan akhir. Pada prinsipnya pengelolaan sampah haruslah dilakukan sedekat mungkin dengan sumbernya. Selama ini pengleolaan persampahan, terutama di perkotaan, tidak berjalan dengan efisien dan efektif karena pengelolaan sapah bersifat terpusat. Misanya saja, seluruh sampah dari kota Jakarta harus dibuag di Tempat Pembuangan Akhir di daerah Bantar Gebang Bekasi. Dapat dibayangkan berapa ongkos yang harus dikeluarkan untuk ini. Belum lagi, sampah yang dibuang masih tercampur antara sampah basah dan sampah kering. Padahal, dengan mengelola sampah besar di tingkat lingkungan terkecil, seperti RT atau RW, dengan membuatnya menjadi kompos maka paling tidak volume sampah dapat diturunkan/dikurangi.
Alternatif Pengelolaan Sampah
Untuk menangani permasalahan sampah secara menyeluruh perlu dilakukan alternatif-alternatif pengelolaan. Landfill bukan merupakan alternatif yang sesuai, karena landfill tidak berkelanjutan dan menimbulkan masalah lingkungan. Malahan alternatif-alternatif tersebut harus bisa menangani semua permasalahan pembuangan sampah dengan cara mendaur-ulang semua limbah yang dibuang kembali ke ekonomi masyarakat atau ke alam, sehingga dapat mengurangi tekanan terhadap sumberdaya alam. Untuk mencapai hal tersebut, ada tiga asumsi dalam pengelolaan sampah yang harus diganti dengan tiga prinsip–prinsip baru. Daripada mengasumsikan bahwa masyarakat akan menghasilkan jumlah sampah yang terus meningkat, minimisasi sampah harus dijadikan prioritas utama.
Sampah yang dibuang harus dipilah, sehingga tiap bagian dapat dikomposkan atau didaur-ulang secara optimal, daripada dibuang ke sistem pembuangan limbah yang tercampur seperti yang ada saat ini. Dan industri-industri harus mendesain ulang produk-produk mereka untuk memudahkan proses daur-ulang produk tersebut. Prinsip ini berlaku untuk semua jenis dan alur sampah.
Pembuangan sampah yang tercampur merusak dan mengurangi nilai dari material yang mungkin masih bisa dimanfaatkan lagi. Bahan-bahan organik dapat mengkontaminasi/ mencemari bahan-bahan yang mungkin masih bisa di daur-ulang dan racun dapat menghancurkan kegunaan dari keduanya. Sebagai tambahan, suatu porsi peningkatan alur limbah yang berasal dari produk-produk sintetis dan produk-produk yang tidak dirancang untuk mudah didaur-ulang; perlu dirancang ulang agar sesuai dengan sistem daur-ulang atau tahapan penghapusan penggunaan.
Program-program sampah kota harus disesuaikan dengan kondisi setempat agar berhasil, dan tidak mungkin dibuat sama dengan kota lainnya. Terutama program-program di negara-negara berkembang seharusnya tidak begitu saja mengikuti pola program yang telah berhasil dilakukan di negara-negara maju, mengingat perbedaan kondisi-kondisi fisik, ekonomi, hukum dan budaya. Khususnya sektor informal (tukang sampah atau pemulung) merupakan suatu komponen penting dalam sistem penanganan sampah yang ada saat ini, dan peningkatan kinerja mereka harus menjadi komponen utama dalam sistem penanganan sampah di negara berkembang. Salah satu contoh sukses adalah zabbaleen di Kairo, yang telah berhasil membuat suatu sistem pengumpulan dan daur-ulang sampah yang mampu mengubah/memanfaatkan 85 persen sampah yang terkumpul dan mempekerjakan 40,000 orang.
Secara umum, di negara Utara atau di negara Selatan, sistem untuk penanganan sampah organik merupakan komponen-komponen terpenting dari suatu sistem penanganan sampah kota. Sampah-sampah organik seharusnya dijadikan kompos, vermi-kompos (pengomposan dengan cacing) atau dijadikan makanan ternak untuk mengembalikan nutirisi-nutrisi yang ada ke tanah. Hal ini menjamin bahwa bahan-bahan yang masih bisa didaur-ulang tidak terkontaminasi, yang juga merupakan kunci ekonomis dari suatu alternatif pemanfaatan sampah. Daur-ulang sampah menciptakan lebih banyak pekerjaan per ton sampah dibandingkan dengan kegiatan lain, dan menghasilkan suatu aliran material yang dapat mensuplai industri.
Tangguang Jawab Produsen dalam Pengelolaan Sampah
Hambatan terbesar daur-ulang, bagaimanapun, adalah kebanyakan produk tidak dirancang untuk dapat didaur-ulang jika sudah tidak terpakai lagi. Hal ini karena selama ini para pengusaha hanya tidak mendapat insentif ekonomi yang menarik untuk melakukannya. Perluasan Tanggungjawab Produsen (Extended Producer Responsibility – EPR) adalah suatu pendekatan kebijakan yang meminta produsen menggunakan kembali produk-produk dan kemasannya. Kebijakan ini memberikan insentif kepada mereka untuk mendisain ulang produk mereka agar memungkinkan untuk didaur-ulang, tanpa material-material yang berbahaya dan beracun. Namun demikian EPR tidak selalu dapat dilaksanakan atau dipraktekkan, mungkin baru sesuai untuk kasus pelarangan terhadap material-material yang berbahaya dan beracun dan material serta produk yang bermasalah.
Di satu sisi, penerapan larangan penggunaan produk dan EPR untuk memaksa industri merancang ulang ulang, dan pemilahan di sumber, komposting, dan daur-ulang di sisi lain, merupakan sistem-sistem alternatif yang mampu menggantikan fungsi-fungsi landfill atau insinerator. Banyak komunitas yang telah mampu mengurangi 50% penggunaan landfill atau insinerator dan bahkan lebih, dan malah beberapa sudah mulai mengubah pandangan mereka untuk menerapkan “Zero Waste” atau “Bebas Sampah”.
Sampah Bahan Berbahaya Beracun (B3)
Sampah atau limbah dari alat-alat pemeliharaan kesehatan merupakan suatu faktor penting dari sejumlah sampah yang dihasilkan, beberapa diantaranya mahal biaya penanganannya. Namun demikian tidak semua sampah medis berpotensi menular dan berbahaya. Sejumlah sampah yang dihasilkan oleh fasilitas-fasilitas medis hampir serupa dengan sampah domestik atau sampah kota pada umumnya. Pemilahan sampah di sumber merupakan hal yang paling tepat dilakukan agar potensi penularan penyakit dan berbahaya dari sampah yang umum.
Sampah yang secara potensial menularkan penyakit memerlukan penanganan dan pembuangan, dan beberapa teknologi non-insinerator mampu mendisinfeksi sampah medis ini. Teknologi-teknologi ini biasanya lebih murah, secara teknis tidak rumit dan rendah pencemarannya bila dibandingkan dengan insinerator.
Banyak jenis sampah yang secara kimia berbahaya, termasuk obat-obatan, yang dihasilkan oleh fasilitas-fasilitas kesehatan. Sampah-sampah tersebut tidak sesuai diinsinerasi. Beberapa, seperti merkuri, harus dihilangkan dengan cara merubah pembelian bahan-bahan; bahan lainnya dapat didaur-ulang; selebihnya harus dikumpulkan dengan hati-hati dan dikembalikan ke pabriknya. Studi kasus menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip ini dapat diterapkan secara luas di berbagai tempat, seperti di sebuah klinik bersalin kecil di India dan rumah sakit umum besar di Amerika.
Sampah hasil proses industri biasanya tidak terlalu banyak variasinya seperti sampah domestik atau medis, tetapi kebanyakan merupakan sampah yang berbahaya secara kimia.
Produksi Bersih dan Prinsip 4R
Produksi Bersih (Clean Production) merupakan salah satu pendekatan untuk merancang ulang industri yang bertujuan untuk mencari cara-cara pengurangan produk-produk samping yang berbahaya, mengurangi polusi secara keseluruhan, dan menciptakan produk-produk dan limbah-limbahnya yang aman dalam kerangka siklus ekologis. Prinsip-prinsip Produksi Bersih adalah:
Prinsip-prinsip yang juga bisa diterapkan dalam keseharian misalnya dengan menerapkan Prinsip 4R yaitu:
* Reduce (Mengurangi); sebisa mungkin lakukan minimalisasi barang atau material yang kita pergunakan. Semakin banyak kita menggunakan material, semakin banyak sampah yang dihasilkan.
* Reuse (Memakai kembali); sebisa mungkin pilihlah barang-barang yang bisa dipakai kembali. Hindari pemakaian barang-barang yang disposable (sekali pakai, buang). Hal ini dapat memperpanjang waktu pemakaian barang sebelum ia menjadi sampah.
* Recycle (Mendaur ulang); sebisa mungkin, barang-barang yg sudah tidak berguna lagi, bisa didaur ulang. Tidak semua barang bisa didaur ulang, namun saat ini sudah banyak industri non-formal dan industri rumah tangga yang memanfaatkan sampah menjadi barang lain.
* Replace ( Mengganti); teliti barang yang kita pakai sehari-hari. Gantilah barang barang yang hanya bisa dipakai sekalai dengan barang yang lebih tahan lama. Juga telitilah agar kita hanya memakai barang-barang yang lebih ramah lingkungan, Misalnya, ganti kantong keresek kita dnegan keranjang bila berbelanja, dan jangan pergunakan styrofoam karena kedua bahan ini tidka bisa didegradasi secara alami
PEDAGANG KAKI LIMA
Semakin bertambahnya jumlah PKL yang ada kemudian menjadi permasalahan publik yang kompleks. Untuk mencari penyelesaian tentang kondisi PKL, diperlukan adanya proses agenda setting dan perumusan masalah. Proses agenda setting merupakan proses pengubahan issue menjadi masalah publik sehingga mendapat perhatian pemerintah. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan agar permasalahan PKL mendapat perhatian dan menjadi agenda pemerintah untuk dirumuskan sebagai kebijakan publik.
Pertama, membangun persepsi di kalangan stake holders bahwa sebuah fenomena benar-benar dianggap sebagai masalah, karena bisa jadi suatu gejala oleh suatu kelompok dianggap masalah, tetapi oleh sebagian yang lain bukan dianggap masalah. Dalam hal ini, permasalahan PKL tentu saja telah mendapat perhatian dari stake holders karena menyangkut banyak kepentingan. Mulai dari perekonomian para pedagang, kepentingan masyarakat yang mungkin merasa terganggu sampai pada permasalahan kebersihan dan ketertiban. Dengan adanya permasalahan yang menyangkut banyak pihak maka PKL kemudian menjadi sebuah permasalahan publik yang harus diselesaikan melalui mekanisme kebijakan.
Kedua, membuat batasan masalah. Permasalahan PKL merupakan permasalahan yang sangat luas. Banyak hal yang bisa dijadikan sebagai obyek kebijakan menyangkut permasalahan ini. Agar dapat menjadi perhatian dan agenda pemerintah untuk dirumuskan dalam bentuk kebijakan, maka permasalahan tersebut harus dibatasi. Pembatasan masalah PKL biasanya berkutat pada pengaturan dan hubungan antara pedagang dan masyarakat. Pemerintah merasa perlu untuk melakukan pengaturan atau bahkan relokasi sedangkan pedagang harus berupaya untuk mempertahankan sumber ekonomi mereka. Batasan permasalahan tersebut bisanya berupa usaha-usaha pemerintah untuk menertibkan para pedagang kaki lima atau tuntutan dari para pedagang kepada pemerintah agar mendapat lahan ekonomi yang lebih layak. Pembatasan masalah di sini juga bisa dilihat dari segi ruang dan waktu. Misalnya, kebijakan tersebut akan diberlakukan untuk daerah yang spesifik dan pada waktu tertentu.
Ketiga, memobilisasi dukungan agar masalah tersebut dapat masuk dalam agenda pemerintah. Hal ini bisa dilakukan dengan mengorganisir kelompok-kelompok dalam masyarakat, kekuatan politik maupun publikasi media massa. Upaya ketiga ini biasa dilakuakan pedagang kaki lima melalui pembentukan kelompok atau pengorganisasian diantara pedagang tersebut. Mereka berafiliasi untuk menyuarakan kepentingan mereka sebagai masyarakat yang berhak mendapatkan lahan perekonomian. Kelompok pedagang tersebut juga bisa berafiliasi dengan partai politik tertentu agar suara mereka lebih didengar di legislatif. Mobilisasi dukungan partai politik dan afiliasi pedagang kaki lima merupakan hubungan yang saling menguntungkan dimana para pedagaang bisa menyuarakan kepentingannya, sedangkan partai tersebut akan mendapat tambahan suara. Dalam proses ini biasanya terdapat peran LSM yang mengadvokasi kepentingan para pedagang. Mobilisasi dukungan juga bisa dilakukan melalui media massa. Media menjadi sarana efektif untuk mendapatkan simpati dari banyak orang tentang nasib para pedagang kaki lima. Masyarakat luas bisa melihat permasalahan mereka secara konkrit dan mengambil sikap tentang permasalahan tersebut.
Hal yang terpenting dalam ketiga tahap tersebut adalah bagaimana upaya membangun persepsi bahwa permasalahan PKL memang urgen dan layak untuk dipecahkan dalam kebijakan. Setelah terbangun persepsi bahwa terdapat suatu permasalahan yang harus dipecahkan, dalam hal ini adalah PKl, maka langkah berikutnya adalah melakukan perumusan masalah agar lebih fokus dan mengerucut. Fokus dari permasalahan tersebut akan menimbulkan permasalahan formal yang kemudian ditindaklanjuti dalam kebijakan.
Secara administratif-teknokratis, terdapat beberapa tahapan yang menunjukkan proses perumusan masalah sampai akhirnya permasalahan tersebut diakomodasi dalam kebijakan. Tahapan tersebut terdiri dari: situasi masalah, pencarian masalah, meta masalah, pendefinisian masalah, masalah substantif, spesifikasi masalah, dan masalah formal. Tahapan-tahapan tersebut akan lebih mudah dipahami dalam uraian kasus, khusunya yang menyangkut permasalahan pedagang kaki lima di Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta.
Situasi masalah merupakan serangkaian situasi yang menimbulkan rasa ketidakpuasan dan terasa ada sesuatu yang salah. Dalam tahap ini, kasus pedagang kaki lima bisa dipahami sebagai salah satu bentuk situasi yang menimbulkan adanya sesutu yang salah, baik itu dari masyarakat, pedagang itu sendiri, maupun pemerintah. Masyarakat umumnya merasa terganggu meskipun ada juga kemudahan yang ditawarkan para pedagang kaki lima seperti harga yang lebih murah dan lokasi yang dekat dengan perumahan. Sedangkan pedagang kaki lima tersebut merasa tidak puas dengan langkah pemerintah yang tidak menyediakan lahan ekonomi bagi meraka. Pemerintah sendiri menganggap pedagang kaki lima sebagai kelompok yang mengganggu ketertiban dan melanggar peraturan tentang perizinan.
Tahap berikutnya adalah tahapan pencarian masalah dimana permasalahan pedagang kaki lima yang masih sangat luas tersebut mulai dikerucutkan menjadi masalah-masalah yang sekiranya bisa menghadirkan solusi melalui mekanisme kebijakan. Tahapan ini sangat terkait dengan tahapan berikutnya yaitu meta masalah. Permasalahan pedagang kaki lima menjadi sebuah masalah yang rumit dan kompleks dengan melibatkan banyak sekali aktor dengan kepentingan masing-masing.
Kompleksitas permasalahan PKL menyangkut beberapa hal antara lain pedagang kaki lima dianggap menimbulkan gangguan kenyamanan, gangguan keamanan dan kelancaran lalu lintas, gangguan kebersihan, kesehatan, dan kerapian; gangguan
penyalahgunaan peruntukan parkir, gangguan ketertiban sosial karena
pelanggaran izin, dan gangguan terdesaknya potensi ekonomi penduduk
asli karena datangnya para PKL dari luar daerah. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemetaan masalah agar permasalahan tersebut bisa tertata dengan rapi. Proses ini akan memudahkan dalam pencarian soluasi dan penyelesaian masalah. Pemetaan masalah menjadi strategi untuk membagi persoalan menjadi persoalan-persoalan yang lebih kecil. Hal ini bisa memfokuskan perhatian pada perbedaan antara kondisi yang dihadapi dan kondisi yang diinginkan.
penyalahgunaan peruntukan parkir, gangguan ketertiban sosial karena
pelanggaran izin, dan gangguan terdesaknya potensi ekonomi penduduk
asli karena datangnya para PKL dari luar daerah. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemetaan masalah agar permasalahan tersebut bisa tertata dengan rapi. Proses ini akan memudahkan dalam pencarian soluasi dan penyelesaian masalah. Pemetaan masalah menjadi strategi untuk membagi persoalan menjadi persoalan-persoalan yang lebih kecil. Hal ini bisa memfokuskan perhatian pada perbedaan antara kondisi yang dihadapi dan kondisi yang diinginkan.
Setelah melalui tahap pemetaan masalah, maka yang perlu dilakukan adalah pendefinisian masalah dalam istilah yang paling umum dan mendasar. Tahap ini mencoba untuk mengabstraksikan masalah. Kompleksitas permasalahan pedagang kaki lima tersebut mulai dicari fokusnya. Dalam tahap ini juga dilakukan pendefinisian terhadap permasalahan apakah yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Pemerintah juga mulai melakukan pendefinisian secara mendetail. Misalnya mendefinisikan tentang siapa sajakah yang disebut pedagang kaki lima, bagaimana bentuk gangguan yang ditimbulkan terhadap ketertiban dan kenyamana, sampai pada mencoba mengabstraksikan solusi apa yang paling tepat. Pemerintah bisanya mengupayakan bentuk relokasi yang sangat rawan terhadap konflik antara pemerintah dan pedagang.
Tahap pendefinisian tersebut akhirnya menghasilkan sebuah masalah yang substantif. Pada tahap ini bisanya, pemerintah telah menemukan permasalahan mendasar berikut solusi yang ditawarkan. Permasalahan substansif tersebut bisa berupa pilihan-pilihan seperti pengaturan yang lebih baik terhadap pedagang kaki lima atau relokasi. Logika pemerintah bisanya bersifat sangat sederhana. Substansi masalah tersebut ditemukan dalam bentuk hubungan antara pedagang kaki lima dengan pemerintah. Pedagang kaki lima merupakan kelompok ekonomi informal yang melanggar peraturan dan ketertiban sehingga perlu dilakukan relokasi untuk menyelasaikan permasalahan tersebut.
Setelah menemukan substansi permasalahan maka dilakukan tahap spesifikasi masalah. Spesifikasi masalah tersebut bisa berupa upaya relokasi PKL untuk menjamin ketertiban. Teknokrat akan menentukan obyek-obyek yang spesifik dalam permasalahan tersebut. Dalam hal pedagang kaki lima, maka spesifikasi masalahnya bisa terdiri dari penentuan lokasi pedagang kaki lima yang akan direlokasi. Misalnya saja di Kabupaten Sleman, pedagang kaki lima banyak sekali mangakal di sepanjang jalan seperti Jalan Babarsari, Colombo, dan Gejayan. Selain tempat-tempat tersebut, pedagang kaki lima juga banyak mangkal di kawasan Selokan Mataram, kawasan UGM dan di bawah Jembatan Layang Janti. Spesifikasi tersebut juga bisa dilakukan dengan penentuan solusi apa yang tepat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan setersebut. Misalnya saja, pemerintah menetapkan relokasi menjadi salah satu solusi. Maka spesifikasi tersebut mulai dirumuskan seperti mengajukan alternatif lokasi relokasi sampai pada spesifikasi tentang waktu dan bentuk pelaksaan relokasi. Spesifikasi secara umum juga menyangkut detail pengaturan yang akan diimplementasikan untuk mengatasi permasalahan PKL.
Tahapan terakhir dalam perumusan masalah kebijakan adalah menetapkan masalah menjadi masalah formal. Masalah formal menjadi tahap terakhir setelah setelah dilakukan perumusan masalah secara spesifik dan jelas. Masalah formal inilah yang kemudian menjadi basis dan instrumen dasar untuk penyusunan kebijakan. Permasalahan formal tersebut kemudian diakomodasi dalam bentuk kebijakan yang diupayakan dapat menguntungkan semua pihak. Dalam hal penataan pedagang kaki lima, pemerintah telah menetapkan instrumen kebijakan misalnya Perda kota Yogyakarta nomor 26 tahuan 2002 tentang penataan pedagang kaki lima yang mengatur beberapa hal. Pengaturan tersebut meliputi lokasi PKL yang diperbolehkan, mekanisme perizinan, kewajiban, hak dan larangan bagi para pedagang, fasilitas dan pembinaan yang disediakan pemerintah, sampai sanksi administratif yang dikenakan bagi para pedagang yang melanggar peraturan.
Permasalahan formal yang telah menemukan fokus dan spesifikasinya kemudian dijabarkan kembali dalam bentuk kebijakan. Penjelasan mendetail tentang kebijakan tersebut akan sangat mempengaruhi implementasi. Kebijakan yang bersifat ambigu dan bias kepentingan dapat menjadi indikator awal bagi kegagalam implementasi kebijakan tersebut. Pencarian data dan informasi yang dikumpulkan para teknokrat tidak akan berarti tanpa adanya penjabaran kembali masalah tersebut secara jelas dalam bentuk kebijakan.
Proses perumusan masalah kebijakan yang diuraikan di atas sangat bersifat teknokratis dan administratif. Namun melalui proses ini, identifikasi terhadap substansi permasalahan bisa lebih fokus dan terspesifikasi. Meskipun sangat rentan terhadap konflik, teknokrat melalui kebijakannnya berusaha juga untuk membangun konsensus dan mencari solusi terbaik bagi permasalahan tersebut. Meskipun demikian, kebijakan yang dirumuskan secara teknokratis tidak akan dapat menyelesaikan permasalahan PKL tanpa adanya komitmen dari pemerintah dan kontekstualisasi terhadap kondisi masyarakat yang sebenarnya.
PROSTITUSI
A. Latar Belakang
Industri bisnis seks mencakup berbagai macam pekerjaan erotis, seperti misalnya prostitusi, pornografi, saluran-saluran telepon seks, panti pijat, pendamping (escorts), dan penari telanjang. Para wanita di dalam bisnis seks bekerja di berbagai macam lingkungan atau tempat, termasuk rumah bordil, bar, hotel, dan jalan-jalan. Pekerja-pekerja seks seringkali menghadapi diskriminasi dan kekerasan yang parah. Kenyataannya, bahwa banyak juga pekerja seks yang mempunyai masalah dengan adiksi, yang membuat mereka semakin rawan terhadap penganiayaan, penyakit, dan diskriminasi.
“Sebaiknya tidak perlu ada hukum yang melarang aktivitas prostitusi karena akan ada seseorang dipersalahkan karena aktivitas tersebut.” Dan ini menjadi tidak adil dalam konteks di mana prostitusi adalah pelibatan dua orang lawan jenis untuk sebuah kesenangan seksual. Pandangan itu mungkin dapat menimbulkan kontroversi apabila dilontarkan di Indonesia karena masyarakat kita pasti menolak pandangan seperti itu. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan, sekalipun praktik prostitusi secara hukum dan agama dilarang di Indonesia, kegiatan prostitusi bawah tanah tetap saja marak di kota-kota besar di Indonesia.
Tindak kriminal seksual dibagi ke dalam dua kategori: mereka yang menjadi korban dan mereka yang bukan.
Dari perspektif korban, pemerkosaan orang dewasa, pemerkosaan anak-anak dan remaja, dan penyerangan seksual masuk ke dalam kategori tindak kriminal karena seseorang telah menjadi korban. Sementara itu, aktivitas seksual yang dipersiapkan melalui persetujuan kedua belah pihak, prostitusi dan pornografi, “tidak ada korbannya” (victim-less). Artinya, pihak yang terlibat di dalamnya menganggap tidak ada yang saling dirugikan.
B. Maksud Dan Tujuan
Pelacuran tidak hanya dilakukan oleh perempuan dewasa, tetapi saat ini mulai banyak anak perempuan (ABG) yang melacur dengan alasan ekonomi. Petugas Trantib beberpa kali melakukan razia terhadap pelacur jalanan yang mangkal di jalan-jalan protokol ibukota dan mengirimnya ke panti-panti sosial seperti Cipayung dan Kedoya, tetapi hal ini tidak membuat jera para pelacur, bahkan jumlahnya makin bertambah. Pelacur ini sebenarnya terpaksa melakukan pekerjaan tersebut karena keadaan dan situasi ekonomi yang berat memaksa mereka dan memang tidak ada pilihan lain dan ada juga yang terjebak germo sehingga karena takut dengan anggapan masyarakat maka sekalian saja mereka menjadi pelacur. Selain itu Pemerintah kurang serius menangani masalah pelacuran ini, terbukti razia-razia yang bertujuan untuk mengurangi pelacuran itu tidak berhasil.
Walaupun pelacur, mereka adalah perempuan, mereka melakukan itu karena selama ini anggapan masyarakat terutama laki-laki menempatkan perempuan hanya sebagai pemuas atau pelayan seks saja, jadilah pelacuran tumbuh subur. Hal ini lebih diperparah lagi dengan mitos keperawanan di masyarakat, padahal korban perkosaan semakin meningkat. Mereka yang menjadi korban perkosaan dan berasal dari ekonomi lemah dengan kesempatan kerja yang kecil banyak yang akan lari ke dunia pelacuran. Kita tidak bisa menyalahkan mereka para pelacur itu karena sistem di Indonesia justru membuat perempuan terjebak dalam kepelacuran itu sendiri.
Makalah ini difokuskan terhadap hukum yang membungkus kategori victim-less sebagai perbuatan seks kriminal. Apabila mengacu pada pendapat di atas, maka hukuman terhadap victim-less yang dipandang sebagai tindak kriminal sebaiknya dieliminasi dan lebih jauh aktivitas seperti itu sebaiknya didekriminalisasi (decriminalized). Persoalannya, mungkinkah dekriminalisasi prostitusi dikembangkan di Indonesia?
Walaupun di Indonesia tidak ada undang-undang yang melarang praktik prostitusi, ada beberapa peraturan perundangan dan regulasi pemerintah yang menyentuh aktivitas seksual atas dasar kesepakatan bersama, atau lebih populer disebut seks komersial. Sejumlah pemerintah daerah memiliki peraturan daerah yang melarang pendirian lokalisasi. Dengan dasar hukum ini, aktivitas seksual atas dasar kesepakatan bersama di antara dua orang atau lebih dalam sebuah tempat yang bersifat pribadi atau “dipersiapkan” dapat dikategorikan sebagai tindakan kriminal.
Definisi ini sebenarnya sudah ketinggalan zaman. Ketentuan yang didasarkan pada definisi ini seharusnya sudah dieliminasi. Berdasarkan prinsip universal tentang hak asasi manusia, sebenarnya setiap orang dewasa memiliki hak melakukan apa saja yang dianggap “menyenangkan” bagi badan mereka. Meski demikian, sebagai bangsa yang “bermoral” dan “beragama”, perlulah kita memiliki upaya mengatasi masalah prostitusi. Langkah pertama yang harus dilakukan pemerintah adalah mengubah pandangan orang tentang kegiatan seksual dengan cara menggeser paradigma prostitusi sebagai “perbuatan asosial” kepada “kesenangan seksual” (sexual pleasure). Kita tidak perlu menyentuh isu seks komersialnya karena berkaitan dengan “kesenangan seksual” yang menjadi hak asasi seseorang.
C. Identifikasi Masalah
Tumbuh suburnya praktik prostitusi di kota-kota besar di Indonesia merupakan bukti bahwa paradigma kesenangan seksual sadar atau tidak diakui keberadaannya oleh masyarakat. Langkah kedua yang penting dipertimbangkan untuk dilakukan pemerintah adalah liberalisasi seks komersial tersebut.
Kedua langkah itu tidak berarti Indonesia menuju pada negara yang memberi legalisasi pada praktik prostitusi, seperti halnya di Thailand dan Belanda, tetapi justru untuk mengendalikan prostitusi agar tidak merebak lebih luas dan mengurangi dampak sosial bagi masyarakat, khususnya generasi muda. Persoalannya adalah apakah gagasan perubahan paradigma prostitusi dan liberalisasi prostitusi itu dapat mendorong pada masalah moral dan imoralitas seksual?
Menurut hemat penulis, tampaknya tidak ada pikiran gagasan pergeseran paradigma dan liberalisasi seksual ini dapat menimbulkan konsekuensi yang merusak moral bangsa. Intinya, Indonesia tidak perlu mengatur isu seksual dengan hukum. Mungkin yang menjadi masalah besar bagi kita adalah adanya pikiran yang memaksakan kehendak agar prostitusi diberantas di Indonesia. Upaya ini yang selama ini sulit dilakukan siapa pun dan di mana pun.
Fakta lain adalah produk yang berhubungan dengan seks dapat ditemukan di mana saja dan bahwa sebagian besar orang dapat melihat produk tersebut. Jika hukum memandang aktivitas ini, yang melibatkan banyak orang, sebagai ilegal, berarti hukum ketinggalan zaman dan harus diubah dan diperbarui. Indonesia sangat mungkin melakukan penataan terhadap prostitusi. Pemerintah dapat memberikan lisensi bisnis kepada prostitusi dan menjamin mereka yang menjajakan seks untuk memperoleh pemeriksaan kesehatan fisik dan nonfisik sebagaimana yang dilakukan Pemerintah Belanda. Kewajiban pemerintah adalah memberikan pelayanan kesehatan dan sosial kepada penjaja seks agar mereka terhindar dari konsekuensi keterlibatan mereka dalam kegiatan seks komersial.